Revolusi Industri yang dimulai sejak tahun 1760 menandai awal perubahan kadar CO2 [1]. Penggunaan bahan bakar fosil meningkat secara signifikan, sehingga menyebabkan kenaikan kadar CO2. Pada awal Revolusi Industri, kadar CO2 berada di angka 280 parts per million (ppm). Kini, kadar CO2 telah melebihi 400 ppm secara global. Peningkatan karbon dioksida memiliki hubungan erat dengan aktivitas manusia, terutama melalui penggunaan energi yang tidak berkelanjutan, perubahan tata guna lahan, gaya hidup, serta pola konsumsi dan produksi. Kemampuan manusia dalam menghasilkan karbon dioksida jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kemampuan proses alami untuk menghilangkannya.
Sumber: climate.gov
Rata-Rata Kadar CO2 Global
Peningkatan jumlah CO2 menyebabkan meningkatnya efek gas rumah kaca secara alami, yang berdampak pada kenaikan suhu. Peningkatan suhu ini merupakan bukti awal dari perubahan iklim yang pertama kali teridentifikasi. Oleh karena itu, isu perubahan iklim sering kali disebut sebagai pemanasan global (global warming). Dalam simulasi numerik, ditemukan bahwa kenaikan suhu permukaan diakibatkan oleh aktivitas manusia. Jika faktor manusia diabaikan, maka suhu permukaan tidak akan mengalami peningkatan yang signifikan.
sumber: ipcc, 2021
Gambar Grafik Pengaruh Kegiatan Manusia terhadap Kenaikan Suhu
Sejak tahun 1970, peningkatan suhu permukaan global terjadi lebih cepat dibandingkan dengan 50 tahun sebelumnya. Sejak tahun 1850, suhu permukaan meningkat dengan rata-rata peningkatan per dekade sebesar 0,06 ℃, namun sejak tahun 1982 terjadi peningkatan suhu permukaan rata-rata menjadi 0,20 ℃ per dekade [2]. Tahun 2015–2024 merupakan sepuluh tahun terpanas yang pernah tercatat, dan 2024 menjadi puncak terpanas dengan suhu yang mencapai 1,55 ℃ di atas suhu pra industri [3]. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan suhu terus terjadi dari tahun ke tahun.
Sumber: wmo.int
Rata-Rata Perubahan Suhu Global Tahun 1850 – 2024
Suhu permukaan mempengaruhi intensitas curah hujan. Jika suhu permukaan meningkat, curah hujan pun akan meningkat. Hal ini disebabkan oleh peningkatan penguapan yang membuat akumulasi uap air di udara lebih besar serta kemampuan atmosfer menahan uap air meningkat. Kapasitas atmosfer dalam menahan uap air naik sekitar 7% setiap kenaikan satu derajat Celcius suhu permukaan[3]. Artinya, jumlah uap air yang turun dalam bentuk hujan juga akan meningkat sebesar 7% untuk setiap derajat kenaikan suhu. Sejak tahun 1901, rata-rata curah hujan tahunan telah mengalami peningkatan dengan anomali sebesar 0,8 mm per dekade [4].
Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer juga menyebabkan peningkatan variasi ENSO (El Niño Southern Oscillation) sebesar 10% sejak tahun 1960 [5]. ENSO adalah fenomena iklim skala besar yang terjadi secara alami akibat fluktuasi suhu permukaan laut, berdampak pada peristiwa El Niño (waktu kering) dan La Niña (waktu basah). Dalam 50 tahun terakhir, kejadian El Niño dan La Niña semakin intensif dengan variabilitas yang meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya [6]. Hal ini menyebabkan El Nino yang lebih sering terjadi yang berdampak pada peningkatan kekeringan, dan La Nina lebih jarang terjadi namun dengan peningkatan instesitas yang menyebabkan peningkatan curah hujan ekstrim.
sumber: climate.gov
Perubahan Indeks ENSO Akibat Pemanasan Global
Fenomena El Niño terjadi ketika suhu muka laut di wilayah timur dan tengah Pasifik menghangat. Kondisi ini menyebabkan pelemahan hembusan angin pasat dari timur ke barat atau bahkan berbalik arah, sehingga meningkatkan risiko kekeringan. Sebaliknya, saat terjadi La Niña, angin pasat dari timur ke barat berhembus lebih kuat dari biasanya, menyebabkan suhu muka laut di Pasifik timur menjadi lebih dingin. Akibatnya, risiko banjir dapat meningkat.
Sumber: BMKG
Gambar Fenomena El Nino dan La Nina