Air baku merupakan air yang digunakan sebagai bahan pokok sebelum diolah menjadi air minum. Untuk menjadi air minum yang layak konsumsi air baku perlu diolah agar memenuhi syarat air minum sebagaimana Permenkes 492 tahun 2010 pasal 3 ayat 1 “Air minum aman bagi kesehatan apabila memenuhi persyaratan fisika, mikrobiologis, kimiawi, dan radioaktif yang dimuat dalam parameter wajib dan tambahan”.
Menurut WHO, standar kebutuhan air bersih sebagai hak dasar kebutuhan manusia ditetapkan sebesar 60 liter/kapita/hari. DKI Jakarta merupakan sebuah kota metropolitan dengan kebutuhan jumlah air bersih sebesar 150 liter/kapita/hari. Selama ini sumber air baku DKI Jakarta berasal dari waduk Jatiluhur di Purwakarta, kali krukut dan sungai Cengkareng, dari berbagai sungai yang terdapat di Jakarta hanya dua sungai tersebut yang dapat menyuplai pasokan air baku di Jakarta, atau setara dengan 4% total sumber air baku DKI Jakarta. Kecilnya peran sungai sebagai sumber air baku yang ada di Jakarta ini disebabkan oleh adanya pencemaran air, tercatat pada tahun 1983 – 1989 mengalami pencemaran dengan tingkat sedang hingga berat.
Sungai di Jakarta Sebagian besar telah melewati ambang batas parameter pencemar Biological Oxygen Demand (BOD) yaitu > 20 mg/liter untuk air golongan D (pertanian dan usaha perkotaan). Sebagian besar sungai di Jakarta sudah tercemar bakteri Fecal Coli, yang berarti air sungai tersebut telah tercemar oleh tinja manusia. Faktor pencemar air sungai yang ada di Jakarta sebagian besar disebabkan oleh air limbah domestik, tetapi air limbah industri juga turut menyumbang pencemaran air sungai di Jakarta, seperti pada sungai Cipinang, Kali Baru Barat, Kali Petukangan dan Cakung Drain.
Tidak hanya air sungai di Jakarta yang tercemar, air tanah yang digunakan sebagai alternatif sumber air baku di Jakarta juga mengalami pencemaran, hal ini disebabkan oleh banyaknya pembangunan infrastruktur dan pembuangan berbagai polutan. Terdapat beberapa kelurahan yang terletak di 42 kecamatan yang air tanahnya tercemar berat dan sedang. Kualitas air tanah dangkal di Jakarta sekitar 87% telah tercemar bakteri E. Coli, yang menandakan adanya pencemaran dari tinja manusia.
Untuk mengurangi pencemaran air sungai dapat dimulai dengan menghentikan kebiasaan masyarakat yang menjadikan sungai sebagai tempat pembuangan sampah dan air limbah, hal ini dilakukan tidak hanya untuk kepentingan menjaga kualitas air baku, tetapi juga untuk menjaga ekosistem flora dan fauna yang ada di sungai. Pengelolaan dan pengendalian terhadap pencemaran air sungai dapat dilakukan dengan membangun IPAL (Instalasi Pengelolaan Air Limbah) atau WWTP (Wastewater Treatment Plant) untuk mengelola limbah biologis dan kimiawi dari air sehingga air limbah tersebut tidak membahayakan lingkungan, dan air tersebut dapat digunakan untuk aktifitas lainnya.
Banyaknya sumber air tanah di Jakarta yang tercemar oleh bakteri E. Coli dapat dikurangi dengan membangun septic tank yang sehat, yaitu dengan membangun dinding septic tank yang kedap air sehingga kotoran pada septic tank tidak mencemari air tanah, atau dapat dilakukan dengan menggunakan alternatif teknologi bio-septic tank. Selain itu, upaya untuk menjaga kualitas air tanah yaitu dengan tidak membuat pembuangan sampah di dekat sumber air tanah, karena jika hal ini dilakukan sumber air tanah dapat tercemar ketika ada air hujan yang meresap ke tanah melalui tempat pembuangan sampah. Pelestarian pohon dan hutan juga menjadi cara yang sangat efektif untuk menjaga kualitas air tanah, akar akar pohon dapat menyerap air di tanah pada saat hujan yang dapat disimpan dan digunakan sebagai cadangan air pada saat musim kemarau.
-ARI-